Selasa, 22 Januari 2013

Cerpen Dina

Hantu tertawa
 

    Namaku Dina, aku adalah anak kedua dari dua bersaudara. Kakakku bernama Dian. Saat itu aku berusia 14 tahun, aku disuruh ayah untuk berlatih mengendarai motor. Cukup waktu 1 minggu aku sudah lancar, mengalahkan kakakku yang pada saat itu juga sedang belajar mengendarai motor.

    Aku tinggal di sebuah komplek dekat sekolah, di daerah Kabupaten Bandung. Komplek tempat aku tinggal memiliki blok dari A sampai H. Nah kebetulan rumahku berada di blok terakhir yaitu H.
    Di daerah rumahku yaitu sekitar blok H agak sepi karena hanya terdiri dari 33 kepala keluarga. Tetapi kerukunan dan kekompakannya sangat terjaga.

    Untuk menuju blok H, di mana aku tinggal kita harus melewati gapura. Gapura itu adalah pembatas antar blok. Karena blok H tempatnya di bawah, jadi orang yang mau ke sana harus melewati turunan yang pinggirnya terdapat rumput tinggi yang indah dan pohon bambu lebat. Konon katanya pohon bambu itu terkenal angker. Tapi sih kalau pagi, siang, sore aku lewat tempat itu malah indah karena pemandangannya masih asri. Sedangkan apabila malam hari, aku tidak berani untuk membuka mata dan telinga ketika melewati itu.  Karena aku adalah tipe orang yang takut dengan hal yang mengenai makhluk ghaib.

    Suatu hari, aku disuruh oleh ayah untuk menjemput kakak di minimarket yang berada di pangkalan ojek. Pada saat itu jam menunjukkan pukul setengah tujuh malam.
Aku pun menolaknya dan berkata “Ah… gak mau takut, soalnya udah malem. Apalagi waktu di turunan gapura itu lampu jalannya suka mati jadi gelap.”
“Tenang saja, gak ada apa-apa di sana. Jangan takut sama yang gituan lah. Kalau ayah gak sakit, sama ayah dijemputnya,”Ayah menjawab dengan lemas.
Aku pun terpaksa menjemput kakak. Segera aku mengganti baju dan diteruskan memanaskan motor. Setelah beberapa menit aku pun pergi, tidak lupa mamah berkata “Hati-hati ya de, bismillah dulu, jangan ngebut.”
Dengan cepat aku menjawab “Siap bos!”

Dan segera aku pergi, ketika aku melewati tanjakan menuju gapura mukaku meneteskan keringat dan jantung yang berdetak lebih kencang. Dengan spontan aku tancap gas sambil terkadang menutup mata.

Setelah keluar dari gerbang aku pun berkata “Alhamdulillah… perasaan lama banget, padahal cuma tanjakan kecil doang tapi rasanya kaya setahun. Haha….”

Selesai melewati itu, aku mengendarai motor dengan pelan-pelan. Sekitar 10 menit, aku pun sampai di tempat di mana harus menjemput kakak. Dan disitu sudah terlihat kakak menunggu dengan muka kusut. “Aku bisa menebak pasti kakak akan marah,” gerutuku dalam hati.
Dan ternyata benar kakak marah.
“Lama banget sih ngejemputnya,” dengan muka kusut.
“Biasa macet,” jawabku.
Kakak bingung dan bertanya lagi “Macet? Macet di mana orang gak lewat jalan raya?”
Aku pun menjawab “Di kamar mandi.”
“Lucu,” jawab kakak sinis.
Aku terdiam mendengar jawaban kakak dan cemberut.

Setelah itu kita pulang ke rumah, seperti biasa kita harus melewati turunan itu. Aku pun tidak begitu takut karena ada kakak. Pada saat mulai lewat, kakak pura-pura ngobrol denganku. Aku yang tadinya hanya diam menjadi bersuara. Tiba-tiba pada saat di tengah-tengah perjalanan tak diduga ada suara tertawa yang sangat keras. Tapi suara tertawa itu hanya terdengar sekejap. Kakak langsung mengebutkan motor dan aku menutup mata telingaku.

Dan akhirnya, aku tiba di depan rumah. Mamah dan ayah sudah berada di depan rumah, aku langsung bercerita. Lalu kakak pun menambahkannya. Orang tuaku hanya tertawa mendengar ceritaku dan kakak yang membuat kita kesal.

Di tengah pembicaraanku, kakak, mamah dan ayah datang tetangga dengan tertawa yang sama dengan suara tadi.  Aku seketika langsung masuk rumah . Tetapi, mamah menarikku sambil tertawa.
Dan tetanggaku menjelaskan bahwa yang tadi aku dan kakak dengar bukanlah suara tertawa hantu melainkan dia. Aku dan kakak heran.

“Perasan di belakang kita gak ada orang?” jawab kakak.
Ternyata kata tetanggaku, aku dan kakak tidak menengok ke belakang saat mendengar suara itu.
“Memang kenapa ibu tertawa di tempat yang gelap itu?” tanyaku penasaran.
“Karena anak ibu mengkelitik perut ibu, dengan spontan ibu langsung teriak ,” jawabnya.
Aku dan kakak “Oh…”

Semua orang yang ada di situ tertawa  mendengar semua cerita tadi.
Karena waktu sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Semuanya bubar dan kembali ke tempat tidurnya masing-masing.

0 komentar:

Posting Komentar