Sabtu, 26 Januari 2013

Kisah Habibie & Ainun


Berawal setelah pulang kantor kemarin malam, niat hati mau mengerjakan tugas-tugas kantor sesampainya saya di rumah. Ternyata isi otak tidak sinkron dengan kebutuhan hati saya untuk memuaskan diri dengan program televisi yang saat itu sedang menayangkan  “MATA NAJWA”. Saya tinggalkan notebook penuh dengan rangkaian executive summary dan grafik
Kali ini, program televisi tersebut membahas tentang kisah cinta antara mantan presiden B.J. Habibie dan ibu Ainun Habibie dengan topik *separuh jiwaku pergi*. Dimulai dengan percakapan mengenai masa-masa pasca B.J. Habibie ditinggal oleh sang almarhumah (baru adegan ini, saya sudah meneteskan air mata huahh)
Dalam 48 tahun 10 hari kami bersama,tak pernah kami berpisah..
Saya tidak pernah menyangka ada perasaan yang sehebat ini„,tapi sekaligus perih juga…
Saya tidak pernah bayangkan akan kehilangan seperti ini…
Tapi saya yakin„walaupun separuh jiwa saya serasa pergi„
tapi Ibu tetap tinggal di dalam ini (sambil menepuk dada)
Setiap saya memejamkan mata„
saya merasa bisa melihat Ibu di setiap ruangan ini..”
Kata kata selanjutnya yang beliau lontarkan diucapkan sedemikian rupa agar beliau bisa tegar tanpa separuh jiwanya..
“Aku ingat lekat sepasang mata dan senyumannya,
kini aku merasakan bayang matanya menghilang perlahan – lahan.
Itu masalahku, dan harus kuatasi itu.
ibu memang sudah pergi, tapi dia tidak pernah pergi dari hati saya”
jika kamu punya rencana masa depan,
saya tidak punya hak untuk tidak menjunjung tinggi rencana dan harapan masa depan kamu itu.”
(emmm…agree with him..love is supporting each other to achieve more)


Pertemuan mereka diawali dari masa kecil mereka saat menduduki bangku SMA, mereka adalah dua bintang kelas yang sangat populer di sekolah. Akan tetapi, saat itu bu Ainun adalah jagoan sekolah yang terkenal agak tomboy sedangkan pak Habibie (atau Roy, panggilan masa kecil beliau) adalah sosok yangterkenal jago bidang saintis sedari duduk di bangku sekolah. Guru mereka dahulu sering menjodohkan mereka berdua, akibat prestasinya yang tinggi di sekolah. Tapi hal ini hanya dianggap lintas lalu oleh Roy.
Bu Ainun sedari dulu memang primadona sekolah akan tetapi, hal tersebut tidak menggetarkan hati Habibie remaja untuk mendekatiya. Sepulang dari luar negeri untuk menempuh pendidikan, pak Habibie baru muali menyadari pesona bu Ainun, saat bermain ke rumah temannya yang kebetulan adalah kakak dari bu Ainun.
Beliau tiba-tiba melihat Ainun sedang memakai pakaian kasual kaos dengan celana jins, hal ini membuat Habibie terperangah dan beliau berkata
“Ainun, mana mungkin gula merah menjadi gula pasir?”
(Hal ini memperlihatkan tercengangnya beliau melihat Ainun  yang telah menjadi gadis remaja dewasa yang cantik).
kisah ini berlanjut hingga akhirnya mereka dipertemukan menjadi satu di pelaminan. Kata-kata yang saya ingat dari pak Habibie adalah
Trimakasih ya Allah Engkau lahirkan aku untuk Ainun,dan Ainun untuk saya.
Trimakasih ya Allah Engkau pertemukan aku dengan Ainun,dan Ainun dengan saya….
Sepanjang episode ini saya benar- benar menitikkan air mata. Ternyata ada juga kisah cinta antara manusia yang dilandasi rasa cinta murni seperti kisah pak Habibie dan bu Ainun.
Akhir dari posting saya kali ini saya akan menampilkan puisi dari pak Habibie saat melepas kepergian jenazah bu Ainun….

          Surat terakhir B.J.Habibie untuk Alm. Ainun Habibie …..
Sebenarnya ini bukan tentang kematianmu, bukan itu.
Karena, aku tahu bahwa semua yang ada pasti menjadi tiada pada akhirnya,
dan kematian adalah sesuatu yang pasti,
dan kali ini adalah giliranmu untuk pergi, aku sangat tahu itu.
Tapi yang membuatku tersentak sedemikian hebat,
adalah kenyataan bahwa kematian benar-benar dapat memutuskan kebahagiaan dalam diri seseorang,
sekejap saja, lalu rasanya mampu membuatku menjadi nelangsa setengah mati,
hatiku seperti tak di tempatnya,
dan tubuhku serasa kosong melompong, hilang isi.
Kau tahu sayang,
rasanya seperti angin yang tiba-tiba hilang berganti kemarau gersang.
Pada airmata yang jatuh kali ini, aku selipkan salam perpisahan panjang,
pada kesetiaan yang telah kau ukir, pada kenangan pahit manis selama kau ada,
aku bukan hendak mengeluh, tapi rasanya terlalu sebentar kau disini.
Mereka mengira aku lah kekasih yang baik bagimu sayang,
tanpa mereka sadari, bahwa kaulah yang menjadikan aku kekasih yang baik.
mana mungkin aku setia padahal memang kecenderunganku adalah mendua,
tapi kau ajarkan aku kesetiaan, sehingga aku setia,
kau ajarkan aku arti cinta, sehingga aku mampu mencintaimu seperti ini.
Selamat jalan,
Kau dari-Nya, dan kembali pada-Nya,
kau dulu tiada untukku, dan sekarang kembali tiada.
selamat jalan sayang,
cahaya mataku, penyejuk jiwaku,
selamat jalan, calon bidadari surgaku ….
BJ.HABIBIE

Selasa, 22 Januari 2013

Cerpen Dina

Hantu tertawa
 

    Namaku Dina, aku adalah anak kedua dari dua bersaudara. Kakakku bernama Dian. Saat itu aku berusia 14 tahun, aku disuruh ayah untuk berlatih mengendarai motor. Cukup waktu 1 minggu aku sudah lancar, mengalahkan kakakku yang pada saat itu juga sedang belajar mengendarai motor.

    Aku tinggal di sebuah komplek dekat sekolah, di daerah Kabupaten Bandung. Komplek tempat aku tinggal memiliki blok dari A sampai H. Nah kebetulan rumahku berada di blok terakhir yaitu H.
    Di daerah rumahku yaitu sekitar blok H agak sepi karena hanya terdiri dari 33 kepala keluarga. Tetapi kerukunan dan kekompakannya sangat terjaga.

    Untuk menuju blok H, di mana aku tinggal kita harus melewati gapura. Gapura itu adalah pembatas antar blok. Karena blok H tempatnya di bawah, jadi orang yang mau ke sana harus melewati turunan yang pinggirnya terdapat rumput tinggi yang indah dan pohon bambu lebat. Konon katanya pohon bambu itu terkenal angker. Tapi sih kalau pagi, siang, sore aku lewat tempat itu malah indah karena pemandangannya masih asri. Sedangkan apabila malam hari, aku tidak berani untuk membuka mata dan telinga ketika melewati itu.  Karena aku adalah tipe orang yang takut dengan hal yang mengenai makhluk ghaib.

    Suatu hari, aku disuruh oleh ayah untuk menjemput kakak di minimarket yang berada di pangkalan ojek. Pada saat itu jam menunjukkan pukul setengah tujuh malam.
Aku pun menolaknya dan berkata “Ah… gak mau takut, soalnya udah malem. Apalagi waktu di turunan gapura itu lampu jalannya suka mati jadi gelap.”
“Tenang saja, gak ada apa-apa di sana. Jangan takut sama yang gituan lah. Kalau ayah gak sakit, sama ayah dijemputnya,”Ayah menjawab dengan lemas.
Aku pun terpaksa menjemput kakak. Segera aku mengganti baju dan diteruskan memanaskan motor. Setelah beberapa menit aku pun pergi, tidak lupa mamah berkata “Hati-hati ya de, bismillah dulu, jangan ngebut.”
Dengan cepat aku menjawab “Siap bos!”

Dan segera aku pergi, ketika aku melewati tanjakan menuju gapura mukaku meneteskan keringat dan jantung yang berdetak lebih kencang. Dengan spontan aku tancap gas sambil terkadang menutup mata.

Setelah keluar dari gerbang aku pun berkata “Alhamdulillah… perasaan lama banget, padahal cuma tanjakan kecil doang tapi rasanya kaya setahun. Haha….”

Selesai melewati itu, aku mengendarai motor dengan pelan-pelan. Sekitar 10 menit, aku pun sampai di tempat di mana harus menjemput kakak. Dan disitu sudah terlihat kakak menunggu dengan muka kusut. “Aku bisa menebak pasti kakak akan marah,” gerutuku dalam hati.
Dan ternyata benar kakak marah.
“Lama banget sih ngejemputnya,” dengan muka kusut.
“Biasa macet,” jawabku.
Kakak bingung dan bertanya lagi “Macet? Macet di mana orang gak lewat jalan raya?”
Aku pun menjawab “Di kamar mandi.”
“Lucu,” jawab kakak sinis.
Aku terdiam mendengar jawaban kakak dan cemberut.

Setelah itu kita pulang ke rumah, seperti biasa kita harus melewati turunan itu. Aku pun tidak begitu takut karena ada kakak. Pada saat mulai lewat, kakak pura-pura ngobrol denganku. Aku yang tadinya hanya diam menjadi bersuara. Tiba-tiba pada saat di tengah-tengah perjalanan tak diduga ada suara tertawa yang sangat keras. Tapi suara tertawa itu hanya terdengar sekejap. Kakak langsung mengebutkan motor dan aku menutup mata telingaku.

Dan akhirnya, aku tiba di depan rumah. Mamah dan ayah sudah berada di depan rumah, aku langsung bercerita. Lalu kakak pun menambahkannya. Orang tuaku hanya tertawa mendengar ceritaku dan kakak yang membuat kita kesal.

Di tengah pembicaraanku, kakak, mamah dan ayah datang tetangga dengan tertawa yang sama dengan suara tadi.  Aku seketika langsung masuk rumah . Tetapi, mamah menarikku sambil tertawa.
Dan tetanggaku menjelaskan bahwa yang tadi aku dan kakak dengar bukanlah suara tertawa hantu melainkan dia. Aku dan kakak heran.

“Perasan di belakang kita gak ada orang?” jawab kakak.
Ternyata kata tetanggaku, aku dan kakak tidak menengok ke belakang saat mendengar suara itu.
“Memang kenapa ibu tertawa di tempat yang gelap itu?” tanyaku penasaran.
“Karena anak ibu mengkelitik perut ibu, dengan spontan ibu langsung teriak ,” jawabnya.
Aku dan kakak “Oh…”

Semua orang yang ada di situ tertawa  mendengar semua cerita tadi.
Karena waktu sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Semuanya bubar dan kembali ke tempat tidurnya masing-masing.